Sabtu, 07 Juni 2014

Cara Pemerintah Kurangi Defisit Transaksi Berjalan


Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit terbesar sejak 1961. Barang impor, dari migas hingga nonmigas, membanjiri negeri ini. Ini memprihatinkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia kurun Januari hingga Desember 2012 mencapai US$190,04 miliar atau turun 6,61 persen dibandingkan periode yang sama pada 2011. Sementara nilai impor pada 2012 mencapai US$191,67 miliar atau naik 8,02 persen dibandingkan 2011 senilai US$ 177,4 miliar. Dengan acuan data tersebut, neraca perdagangan Indonesia selama 2012 mengalami defisit hingga US$1,63 miliar. Menurut sektor, ekspor hasil industri turun sebesar 4,95 persen dibandingkan 2011. Demikian pula hasil tambang turun 9,57 persen dan pertanian 7,98 persen. Sementara ekspor migas turun 10,86 persen dibandingkan 2011.

Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder karena jika tidak segera ditangani akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian secara keseluruhan. Trade deficit terjadi karena pada suatu periode tertentu nilai impor lebih besar dari nilai ekspor,dengan demikian untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan melalui upaya pengendalian impor dan peningkatan ekspor. Salah satu upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, adalah melalui kebijakan pendapatan negara.

Dalam rangka pengendalian impor dalam prespektif jangka pendek menengah, pemerintah antara lain telah mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif PPh Pasal 22 impor untuk barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membantu mengurangi defisit neraca perdagangan yaitu dengan cara mengendalikan impor barang. Barang -barang tertentu yang dipilih diharapkan tidak mengganggu kebutuhan impor bagi industri dalam negeri, dalam hal ini karena barang-barang tersebut adalah barang konsumsi akhir, bukan barang bahan baku/penolong dan juga dipilih yang mempunyai dampak kecil terhadap pembentukan inflasi. Sebagai contoh makanan tidak dipilih sebagai barang yang dinaikan PPh 22 impornya. Lebih lanjut, kenaikan PPh Pasal 22 pada dasarnya tidak akan menambah beban pajak atau PPh terutang pengusaha, tetapi hanya akan berdampak kepada cash flow perusahaan, karena PPh Pasal 22 yang dibayar merupakan pembayaran pajak dimuka sehingga dapat dikurangkan dari pajak penghasilan terutang pada akhir tahun. Namun demikian, dengan meningkatnya beban cash flow, makaperusahaan atau pengusaha akan menyesuaikan volume pemberian barang yang akan diimpordengan kemampuan cash flownya. Dan pada akhirnya diharapkan impor secara keseluruhan dapat dikendalikan. Selain itu, pemerintah juga segera akan mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif PPnBM barang mewah yaitu kendaraan bermotor mewah. 
Kebijakan ini pada dasarnya diluncurkan untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang mewah dan dampak lanjutannnya adalah mengendalikan impor karena barang-barang mewah tersebut sebagian besar merupakan barang yang belum diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, dalam perspektif jangka menengah – panjang, untuk mengendalikan impor, disisi kebijakan pendapatan negara, pemerintah memberikan fasilitas tax allowance bagi industri tertentu sertadaerah tertentu dan tax holiday bagi industri pioner. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu untuk melakukan perubahan struktural (structural change) industri dalam negeri yaitu dengan memilih industri dalam negeri yang menghasilkan produk bahan baku penolong yang selama ini masih diimpor (import – substituion intermediate goods) sebagai industri yang diprioritaskan berhak mendapatkan kedua fasilitas ini. Peningkatan jumlah industri yang menghasilkan import – substituion intermediate goods diharapkan dapat membantu pengendalian defisit neraca perdagangan. Hal ini terutama karena dalam beberapa tahun terakhir kurang lebih 70% dari total impor adalah impor atas bahan baku/ penolong.


Dengan demikian, apabila produk yang selama ini diimpor dapat dihasilkan atau disubstitusi oleh industri dalam negeri maka impor akan terkendali. Lebih dari itu, hal ini akan mengurangi ketergantungan industri dalam negeri akan bahan baku impor. Di sisi lain, untuk ikut mendorong peningkatan ekspor, kebijakan pendapatan negara yang dilaksanakan antara lain adalah dengan mempermudah aturan terkait fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE). KITE merupakan kebijakan pembebasan Bea Masuk bahan baku/ penolong bagi perusahaan KITE selama bahan tersebut digunakan untuk menghasilkan produk yang diekspor. Relaksasi atau tambahan kemudahan dalam kerangka KITE adalah PPN atas barang yang di impor untuk diolah menjadi barang yang diekspor tidak dipungut, dimana jika dalam aturan sebelumnya perusahaan harus membayar terlebih dahulu PPN impor nya baru kemudian dapat direstitusi jika dilakukan ekspor, saat ini dipermudah bahwa perusahaan KITE tidak perlu membayar PPN impor atas barang yang diimpor selama digunakan untuk menghasilkan barang yang di ekspor, dalam hal ini mengurangi beban administrasi. 
Dalam perspektif jangka menengah panjang, selain untuk mendorong tumbuhnya industri yang menghasilkan bahan baku/ penolong, salah satu fasilitas yang diberikan dalam kerangka tax allowance adalah memberikan tambahan perpanjangan pembebanan kerugian selama 2 tahun bagi perusahaan yang memenuhi syarat mendapatkan tax allowance yang mengekspor minimal 30% dari total produksinya dalam satu tahun. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri yang berorientasi ekspor. Secara umum, kebijakan pendapatan negara baik dalam perspektif jangka pendek, menengah maupun panjang telah mengarah pada upaya ikut memperbaiki kondisi neraca transaksi berjalan khususnya neraca perdagangan. Namun demikian, berdasarkan survey persepsi yang telah banyak dilakukan membuktikan bahwa permasalahan perpajakan atau kebijakan pendapatan negara di Indonesia bukan merupakan faktor utama yang mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi atau mengembangkan usahanya. Dengan demikian, kebijakan pendapatan negara saja,tidak akan cukup untuk mengatasi defisit transkasi berjalan jika tanpa dukungan dari stakeholder terkait secara keseluruhan.
 


Sumber :
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013_kajian_pkpn_Kebijakan_Fiskal_Untuk_Defisit_Transaksi_Berjalan.pdf
http://soeharto.co/tag/defisit
http://nasional.kontan.co.id/news/cara-pemerintah-kurangi-defisit-transaksi-berjalan


Cara Pemerintah Mengatasi Defisit Anggaran


Pendahuluan
 
Defisit secara harfiah berarti adalah kekurangan dalam kas keuangan. Defisit biasa terjadi ketika suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran lebih banyak daripada penghasilan. Lawan dari defisit adalah surplus. Hal pertama yang harus dicatat, munculnya kekurangan dalam pendanaan di banyak negara merupakan hal yang klasik. Pemerintah di banyak negara juga mengenal defisit anggaran, bahkan sebelum penemuan istilah anggaran umum. Dulu, negara meminjam dari pedagang dan rentenir saat dalam kondisi membutuhkan, khususnya untuk membiayai perang, seremoni dan festival kerajaan, dan menanggulangi bencana.
Perlu juga dipaparkan, terjadinya defisit anggaran diakibatkan oleh beberapa faktor penting: adakalanya ia terjadi karena anggaran yang memang kurang, dan adakalanya pula cara atau metode pembiayaan yang mengakibatkan defisit. Defisit berarti, pemerintah mengkonsumsi lebih dari jumlah pendapatannya yang kemudian biaya kekurangannya itu diambilkan dari pendapatan individu. Ini artinya, total permintaan terhadap barang dan jasa berlebih jika dibandingkan dengan total penawaran. Pengertian ini dengan asumsi bahwa masyarakat terhalangi dari perdagangan luar negeri yang menyebabkan seluruh konsumsi individu harus ditekan untuk memberi ruang bagi konsumsi pemerintah yang berlebih. Jika defisit anggaran didanai melalui prosedur pinjaman publik dalam negeri, tekanan moneter dari total permintaan pemerintah terhadap harga tidak akan terjadi—setidaknya dalam teori—karena sarana pembayaran individu yang kelebihan berhasil di serap, dan dengan demikian inflasi mata uang tidak terjadi karena kebijakan tersebut. 
Dengan demikian, untuk mengetahui suatu anggaran negara diklasifikasikan mengalami defisit dapat dibaca dari kemampuan tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah diperoleh dari penerimaan negara yang diperoleh secara rutin oleh pemerintah atau yang berasal dari nilai investasi. Kemampuan memajak pemerintah merupakan refleksi kemampuan menabung pemerintah dalam menutup pengeluaran pembangunan.




Kebijakan Pemerintah dalam Menutup Defisit Anggaran
 


Dalam rangka menutup defisit anggaran tersebut, akan dilakukan langkah – langkah kebijakan guna memperoleh sumber pembiayaan dengan biaya rendah dan tingkat risiko yang dapat ditolerir. 

1. Kebijakan dalam pembiayaan dalam negeri
Kebijakan di sisi pembiayaan dalam negeri tersebut dapat ditempuh dengan:
  • melakukan pengelolaan portofolio surat utang negara (SUN) melalui langkah-langkah pembayaran bunga dan pokok obligasi negara secara tepat waktu, penerbitan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, penukaran utang (debt switching) serta pembelian kembali (buyback) obligasi negara;
  • melanjutkan kebijakan privatisasi yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku di pasarmodal;
  • memanfaatkan dana eks moratorium untuk membiayai program rekonstruksi dan rehabilitasi NAD-Nias;
  • menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dan
  • memberikan dukungan dana bagi percepatan pembangunan infrastruktur dalam rangka kemitraan Pemerintah – Swasta. 
2. Kebijakan dalam pembiayaan luar negeri
Langkah-langkah yang ditempuh antara lain meliputi:
  • Mengamankan pinjaman luar negeri yang telah disepakati dan rencana penyerapan pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, dan
  • Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang sudah jatuh tempo.

Dalam rangka membiayai pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah akan mengedepankan prinsip kemandirian dengan lebih memprioritaskan pendanaan yang bersumber dari dalam negeri. Pendanaan dari luar negeri akan dilakukan lebih selektif dan berhati-hati dengan mengupayakan beban pinjaman yang paling ringan melalui penarikan pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah dan tenggang waktu yang panjang dan tidak mengakibatkan adanya adanya ikatan politik serta diprioritaskan untuk membiayai kegiatan – kegiatan yang produktif.

3. Kebijakan dari Sisi Pengeluaran:
  • Mengurangi subsidi; Bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk pengeluaran yang sifatnya membantu konsumen untuk mengatasi tingginya harga yang tidak terjangkau oleh mereka agar tercipta kestabilan politik dan sosial lainnya, misalnya subsidi pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap suatu barang, karena barang itu dianggap harganya terlalu tinggi dibanding dengan kemampuan daya beli masyarakat. Agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, maka negara mengeluarkan dana untuk mensubsidi barang tersebut. Subsidi itu dilakukan dengan beberapa cara, misalnya :  
  • memberikan subsidi kepada konsumen dengan cara memberikan subsidi harga barang-barang yang dikonsumsi; 
  • memberikan subsidi kepada produsen, yaitu memberikan subsidi pada bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Kalau pengeluaran subsidi itu dikurangi akan berakibat pada kenaikan harga barang yang diberi subsidi itu. 
  • Penghematan pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pembangunan 
  • Penghematan pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen teknis, misalnya untuk pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, rapat-rapat, seminar dan sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen teknis yang bersangkutan. 
  • Menseleksi sebagian pengeluaran-pengeluaran pembangunanPengeluaran pembangunan yang berupa proyek-proyek pembangunan diseleksi menurut prioritasnya, misalnya proyek-proyek yang cepat menghasilkan. Proyek-proyek yang menyerap biaya besar dan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang lama, sementara ditunda pelaksanaannya.
  •    Mengurangi pengeluaran program-program yang tidak produktif dan tidak efisien Program – program semacam ini yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung kenaikan penerimaan pajak, dan tidak mendukung kenaikan penerimaan devisa. Pemotongan program-program ini harus dilakukan dengan hati-hati. Pemotongan pengeluaran tanpa memperbaiki produktivitas program, berarti akan ada kecenderungan akan menurunnya kualitas dan kuantitas output.





Nama             : Esrawati Nainggolan

Npm/ Kelas    : 2A213157/ 4EB25

Mata Kuliah    : Softskill Perekonomian Indonesia
 



Sumber :
Sumber : http://kuliahekonomimodern.wordpress.com/2013/03/09/defisit-anggaran-mengapa-kalau-semakin-membesar/
http://www.fe.trisakti.ac.id/publikasi_ilmiah/pdf%20jipak/JIPAK%20Vol%201%20Jan%202006/08%20Artikel%20Yuzwar%20dan%20Mulyadi.pdf