ILLEGAL LOGGING
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.
Fakta penebangan liar
• Dunia
Sebuah studi kerja sama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.
• Amerika Selatan
Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut. Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya). Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon.
Menurut Haryadi Kartodihardjo, aktivitas illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dengan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
(sumber: Penegakan Hukum Illegal Logging: Permasalah dan Solusinya, ICEL, hal. 5)
Pembalakan ilegal (illegal logging) adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Pada dasarnya ada dua jenis pembalakan ilegal. Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
(Sumber: FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, hal. 37)
Pembalakan ilegal terjadi secara luas dan sistematis di banyak wilayah Indonesia dan pada tahun 2000, memasok sekitar 50 sampai 70 persen kebutuhan kayu Indonesia. Suatu analisis pada tahun tersebut oleh Departemen Kehutanan secara resmi mengungkapan sesuatu yang telah menjadi pengetahuan umum selama beberapa waktu terakhir.
Pembalakan ilegal dilakukan oleh suatu bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dan suatu jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam, dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum kehutanan. Penebangan ilegal terjadi secara luas di kawasan HPH, kawasan-kawasan hutan yang belum dialokasikan penggunaannya, HPH yang habis masa berlakunya, beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan hutan yang ditebang habis untuk konversi lahan, dan di kawasan konservasi dan hutan lindung Pembalakan ilegal bahkan meningkat jumlahnya di kawasan konservasi, karena potensi kayu yang ada di kawasan ini lebih baik daripada di hutan produksi.
Para pelaku pembalakan ilegal adalah:
• para pekerja dari masyarakat di kawasan-kawasan hutan dan juga banyak orang yang dibawa ke tempat itu dari tempat lainnya;
• para investor, termasuk para pedagang, pemegang HPH, atau pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) legal, dan pembeli kayu ilegal dari industri pengolahan; dan
• para pejabat pemerintah (sipil dan militer), para penegak hukum, dan para legislator tertentu.
(Sumber: FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, hal. 33-34)
Klasifikasi illegal logging
Pengaturan tindak pidana illegal logging dibedakan menjadi :
1) Di dalam kawasan konservasi, meliputi :
a. Penebangan
b. Pengangkutan
c. Perdagangan
2) Di luar kawasan konservasi, meliputi :
a. Penebangan
b. di dalam kawasan lindung
c. di dalam kawasan produksi
d. Pengangkutan
e. Perdagangan
(Sumber: Kajian Hukum Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar: Alternative untuk Papua, IHSA, hal. iv)
Dampak yang ditimbulkan oleh pembalakan liar :
1. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
2. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
3. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
4. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.
5. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar.
Kegiatan penebangan yang dilakukan dalam kawasan konservasi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU KSDA), yang meliputi :
1) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
2) Menebang tumbuhan yang dilindungi undang-undang atau bagian-bagiannya selain untuk keperluan penelitian.
3) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
4) Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Alur penegakan tindak pidana illegal logging :
1. Pelaporan atau tertangkap tangan
Laporan dilakukan oleh siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa tersebut dan ditujukan kepada aparat kepolisian. Laporan itu jadi dasar bagi polisi untuk melakukan penyelidikan. Hasil observasi/deteksi dari aparat penegak hukum yang bertugas di lapangan dapat dikategorikan sebagai tertangkap tangan.
2. Penyelidikan
Dalam penyelidikan, fungsi kepolisian dibantu oleh:
1) Kepolisian khusus
2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang dalam bidang kehutanan dan konservasi disebut Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan.
3. Penyidikan
Untuk penyidikan, selain penyidik Polri, terdapat PPNS. PPNS Kehutanan mengacu pada UU 41/1999, yang melakukan penyidikan tindak pidana kehutanan dan menyerahkan berkas acara perkara (BAP) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui Penyidik Polri.
4. Penuntutan
Proses penuntutan atas tindak pidana di muka hakim (dalam persidangan) dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
5. Persidangan
Proses persidangan dilakukan oleh hakim
6. Putusan
Putusan dilakukan oleh hakim
7. Pelaksanaan dan pengawasan putusan
Pelaksanaan putusan dilakukan oleh jaksa dan hakim pengawas.
(Sumber: diolah dari hasil Kajian Hukum Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar: Alternative untuk Papua, IHSA, hal. vi-vii)
Sumber : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080808050351AAh9KoV
www.google.com