Sabtu, 30 April 2011

Pelestarian Kebudayaan yang Brlandaskan pada Nilai-nilai Luhur

Pelestarian Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai – nilai Luhur

Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo (1967:13), bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang mengutamakan keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain mengartikan kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung nilai tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang melekat pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) member nilai pada warna hitam sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan (meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.
Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari keseluruhan hasil budi dan karya manusia, yaitu:
a. sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
b. sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat;
c. sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Abdulkadir Muhammad (1987), menyebutkan tiga unsur budaya dalam diri manusia, yaitu:
a. Unsur cipta (budi), berkenaan dengan akal (rasio), yang menimbulkan ilmu dan teknologi (science and technology). Dengan akal itu manusia menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal (nilai kebenaran atau nilai kenyataan).
b. Unsur rasa (Estetika), yang menimbulkan kesenian, dengan rasa itu manusia menilai mana yang indah dan mana yang tidak indah (nilai keindahan)
c. Unsur karsa (etika), yang menimbulkan kebaikan, dengan karsa itu manusia menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik (nilai kebaikan atau nilai moral).

Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antarsesama manusia serta antara manusia dan alam semesta. Dalam memasuki milenium ketiga yang antara lain, ditandai dengan terjadinya perubahan tata nilai sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi yang sedang melanda dunia, bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan bidang kebudayaan. Untuk itu, upaya pembangunan karakter bangsa masih membutuhkan kerja keras yang persisten dan konsisten sehingga mampu mengatasi ketertinggalan. Sinergi segenap komponen bangsa dalam melanjutkan pembangunan karakter bangsa terus diperkuat dalam rangka mewujudkan bangsa yang berkarakter, maju, berdaya saing, dan mewujudkan bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas nasional yang dimiliki, seperti nilai budaya dan bahasa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya serta pranata sosial kemasyarakatan. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang, antara lain, ditandai oleh semakin berkembangnya berbagai dialog lokal, nasional, dan internasional; tumbuhnya pemahaman atas keberagaman; dan menurunnya eskalasi konflik lokal horizontal di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui :
• mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global;
• meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung pada setiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa; serta
• mendorong kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan kekayaan budaya.

I. Permasalahan yang Dihadapi
Pelestarian kebudayaan yang sudah dilakukan sampai saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena masih rentannya soliditas budaya dan pranata sosial yang ada di dalam masyarakat sehingga potensi konflik belum sepenuhnya dapat diatasi. Hal itu diperberat dengan munculnya kecenderungan penguatan orientasi primordial, seperti kelompok, etnis, dan agama yang berpotensi memperlemah keharmonisan bangsa. Permasalahan tersebut, antara lain, disebabkan oleh berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat. Isu dinamika sosial dalam kemajemukan budaya merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Dalam konteks kemajemukan, setiap masyarakat perlu mengembangkan derajat kesetaraan antarkelompok etnis yang berbeda sehingga pengembangan hubungan sosial yang dinamis merupakan strategi dasar bagi terciptanya representasi kolektif yang terdiri atas nilai-nilai lokal kelompok etnis. Secara umum, permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kebudayaan, antara lain adalah :
1. pembangunan ekonomi yang belum mampu diimbangi oleh pembangunan karakter bangsa mengakibatkan terjadinya krisis budaya yang dapat memperlemah jati diri bangsa (nasional) dan ketahanan budaya.
2. kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya belum optimal yang ditandai oleh adanya disorientasi tata nilai seperti nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air; dan adanya kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat mengakibatkan terbatasnya tempat penyaluran aspirasi masyarakat multikultur.
3. identitas nasional mengalami penurunan, yang ditandai oleh belum memadainya pembentukan sikap moral dan penanaman nilai budaya yang mengakibatkan adanya kecenderungan semakin menguatnya nilai-nilai materialisme; dan kemampuan masyarakat dalam menyeleksi nilai dan budaya global masih terbatas sehingga terjadi pengikisan nilai-nilai budaya nasional yang positif; serta
4. komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mengelola kekayaan budaya belum optimal karena terbatasnya pemahaman, apresiasi, dan komitmen, yang ditandai oleh terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya seperti pencurian, penyelundupan, dan perusakan benda cagar budaya; adanya berbagai kekayaan budaya dan kekayaan intelektual yang belum terdaftar di Departemen Hukum dan HAM; dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan budaya, baik kemampuan fiskal maupun kemampuan manajerial masih terbatas.

II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, upaya pengembangan kebudayaan sejak tahun 2005 sampai dengan Juni 2008 diarahkan melalui kebijakan :
1. mengembangkan modal social untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam menghadapi derasnya arus budaya global dengan mendorong terciptanya ruang yang terbuka dan demokratis bagi dialog kebudayaan;
2. mendorong percepatan proses modernisasi yang dicirikan dengan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia modern yang berkelanjutan, dan menguatnya masyarakat sipil;
3. menyelesaikan peraturan perundang-undangan di bidang kebudayaan serta penyusunan petunjuk pelaksanaannya;
4. reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional;
5. mengembangkan kerja sama yang sinergis antarpihak terkait dalam upaya pengelolaan kekayaan budaya; dan
6. perwujudan masyarakat Indonesia yang berkepribadian, berbudi luhur, dan mencintai kebudayaan Indonesia dan produk dalam negeri.
Untuk meningkatkan kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya dan menciptakan keserasian antarunit sosial dan budaya dalam bingkai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), langkah-langkah kebijakan yang dilakukan adalah :
1. menyelenggarakan berbagai dialog kebudayaan dan kebangsaan;
2. mengembangkan kesenian dan perfilman nasional;
3. mengembangkan galeri nasional;
4. melakukan komunikasi,informasi, dan edukasi (KIE) perfilman dan meningkatkan sensor film;
5. melakukan stimulasi dan memfasilitasi penyelenggaraan Festival Film Indonesia dan Festival Budaya Daerah;
6. mendukung pengelolaan taman budaya daerah dan;
7. mengoptimalkan koordinasi pengembangan nilai budaya, seni, dan film.
Hasil-hasil yang dicapai melalui revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang ditandai dengan berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural dan menurunnya eskalasi konflik horizontal pascareformasi. Dalam upaya pengelolaan keragaman budaya, hasil yang telah dicapai pada kurun waktu tahun 2005 sampai dengan Juni2008 antara lain adalah :
1. terlaksananya dialog antarbudaya yang terbuka dan demokratis untuk mengatasi persoalan bangsa khususnya dalam rangka kebersamaan dan integrasi;
2. terlaksananya kampanye hidup rukun dalam keragaman budaya/ multikultur;
3. tersusunnya konsep dasar Neraca Satelit Kebudayaan Nasional (Nesbudnas);
4. tersusunnya Peta Kesenian Indonesia dan Peta Budaya Indonesia secara digital dalam program database berikut pelatihan khusus melalui training of trainers (ToT) bagi tenaga operatornya untuk melayani kabupaten/ kota;
5. terlaksananya kegiatan jelajah budaya;
6. terselenggaranya program film kompetitif untuk memotivasi para sineas membuat film cerita;
7. terselenggaranya Festival Film Indonesia (FFI);
8. terlaksananyasensor film dan pembuatan Direktori Perfilman Indonesia;
9. tersusunnya konsep revisi UU No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman sebagai dasar pengembangan perfilman nasional di masa yang akan datang serta sosialisasinya;
10. terlaksananya koordinasi TimPembuatan Film Noncerita Asing di Indonesia yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting film dunia;
11. terlaksananya pengiriman film Indonesia ke Festival Film Internasional di Cannes Perancis dan Pusan International Film Festival di Korea Selatan serta Festival Film Asia Osian’s Cinefan VII di New Delhi, India; dan memfasilitasi kerja sama asosiasi pembuat film internasional;
12. terlaksananya kunjungan situs-situs sejarah, penulisan, dan diskusi dengan tema “Lawatan Sejarah: Merajut Simpul-Simpul Perekat Bangsa” baik di tingkat local maupun nasional;
13. terlaksananya sosialisasi dan promosi “Indonesia Performing Arts Mart (IPAM)”;
14. terlaksananya konservasi lukisan di Museum Le Mayeur;
15. terlaksananya penyelenggaraan Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-anak;
16. terlaksananya penyelenggaraan Festival Sastra Nusantara dan Pameran Seni Rupa Nusantara; dan
17. terlaksananya penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan;
Dalam rangka meningkatkan ketahanan budaya nasional dan memperkukuh jati diri bangsa diperlukan filter yang mampu menangkal penetrasi budaya asing yang bernilai negatif dan mampu memfasilitasi teradopsinya budaya asing yang bernilai positif dan produktif.
Adapun langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah :
1. melakukan revitalisasi nilai luhur, budi pekerti dan karakter bangsa;
2. melakukan pelestarian dan pengaktualisasian nilai-nilai tradisi;
3. mengembangkan masyarakat adat;
4. mendukung pengembangan nilai budaya daerah;
5. menyelenggarakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada masyarakat; dan
6. memanfaatkan naskah kuno Nusantara.
Adapun hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pengembangan nilai budaya pada tahun 2005 sampai dengan bulan Juni tahun 2008, antara lain adalah :
1. terlaksananya inventarisasi aspek-aspek tradisi untuk menggali kearifan tradisional yang dimiliki suku bangsa, inventarisasi masyarakat adat yang mencakup upacara adat, tempat-tempat spiritual dan reinventarisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan Bimbingan Pamong Budaya Spiritual dan Kepercayaan Komunitas Adat serta perekaman dan penyiaran Kegiatan Budaya Spiritual dan Upacara Adat.
2. tersusunnya nilai-nilai kepercayaan masyarakat suku-suku bangsa;
3. tersusunnya Naskah Potret Potensi Industri Budaya;
4. terselenggaranya Gelar Budaya Daerah, Dongeng Anak-anak Nusantara, Pesta Permainan Tradisional Anak, dan Festival Nasional Musik Tradisional untuk anak-anak;
5. terlaksananya Festival Seni Budaya Indonesia;
6. terlaksananya pergelaran Gita Bahana Nusantara;
7. tersusunnya Undang Undang Nomor 43 tentang Perpustakaan Nasional;
8. tersusunnya Inpres 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata;
9. terselenggaranya Musyawarah Kerja Nasional Sejarah yang membahas berbagai aspek muatan kesejarahan dalam kurikulum pendidikan dan pembentukan kepribadian bangsa dalam konteks multikultur;
10. penerbitan pedoman dan sosialisasi “Etika Kehidupan Berbangsa: Rumusan dan Rencana Aksi” yang merupakan penjelasan operasional dari Tap MPR-RI No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
11. tersusunnya buku “BungaRampai Berpikir Positif Suku-Suku Bangsa, dan Budaya Berpikir Positif”;
12. terlaksananya pengenalan nilai-nilai budaya dalam rangka nation and character building;
13. terlaksananya penganugerahan penghargaan kebudayaan bagi pelaku dan pemerhati kebudayaan untuk mendorong partisipasi aktif dalam pengembangan kebudayaan nasional dan kampanye hidup rukun dalam kemajemukan;
14. terlaksananya sosialisasi/ peningkatan minat dan budaya baca masyarakat;
15. terlaksananya Kemah Budaya di Bumi Perkemahan Paneki Donggala Sulawesi Tengah, dan Perkemahan Budaya Nasional di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan penyelenggaraan Jelajah Budaya di Polewali Mandar Sulawesi Baratdan Gorontalo;
16. terselenggaranya Arung Sejarah Bahari I (AjariI) untuk memupuk semangat nasionalisme dan cinta lingkungan alam;
17. terselenggaranya Art Summit Indonesia IV dan Indonesia Performing Art Mart 2005; (18) terselenggaranya pentas seni multimedia “Megalitikum Kuantum”;
18. terlaksananya pementasan opera “I La Galigo” di Lincoln Center, dan di Gedung Asia Society, New York;
19. terselenggaranya pameran Kebudayaan Islam untuk meningkatkan citra peradaban Islam di Indonesia yang berjudul “Crescent Moon: Islamic Arts and Civilization of South East Asia” di Adelaide dan Canberra, Australia;
20. terlaksananya pengiriman misi kesenian ke berbagai acara internasional, seperti Australia Performing Arts Mart (APAM), World Summit on Art and Culture di New Castle, UK dan China Sanghai International Arts Festival;
21. penyelenggaraan “Indonesian Night” di Beijing dan Jinan,Cina yang bekerja sama dengan perkumpulan Indonesia-Tionghoa (INTI);
22. terselenggaranya Hari Raya Waisak Internasional dikompleks Candi Borobudur dengan menampilkan serangkaian kegiatan berupa pergelaran kolaborasi penari-penari dari enam negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam serta peluncuran prangko dan buku Trail of Civilization yang berisi informasi mengenai bangunan-bangunan Budha dari enam negara tersebut;
23. penyusunan inventarisasi aspek-aspek tradisi dan inventarisasi masyarakat adat;
24. pemetaan kebudayaan Indonesia di lima daerah destinasi unggulan, yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur:
25. penyelenggaraan gelar Dongeng Anak-anak Nusantara dan pesta permainan tradisional anak;
26. sosialisasi pasar tradisional pada era hipermarket;
27. Gelar Budaya Maritim di Sulawesi Selatan; dan
28. penyelenggaraan Pawai Budaya Nusantara.
Selanjutnya, untuk meningkatkan apresiasi terhadap kekayaan budaya dan meningkatkan sistem pengelolaan kekayaan budaya, termasuk sistem pembiayaannya agar aset budaya dapat berfungsi secara optimal sebagai sarana edukasi, rekreasi, dan pengembangan kebudayaan dilakukan serangkaian langkah-langkah kebijakan yaitu:
1. mengembangkan nilai sejarah dan geografi sejarah nasional;
2. melakukan pengelolaan dan penyelamatan peninggalan kepurbakalaan dan peninggalan pusaka bawah air;
3. mengembangkan dan mengelola museum;
4. mengembangkan pemahaman kekayaan budaya;
5. memberikan dukungan terhadap pengelolaan dan mengembangkan museum dan kekayaan budaya daerah;
6. melestarikan fisik dan kandungan naskah kuno;
7. melakukan perekaman dan digitalisasi bahan pustaka;
8. mengelola koleksi deposit nasional; dan
9. mengembangkan statistic perpustakaan dan perbukuan.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pengelolaan kekayaan budaya pada tahun 2005 sampai dengan bulan Juni tahun 2008 antara lain adalah :
1. terdaftarnya Tana Toraja, Jatiluwih,Pakeran, dan Pura Taman Ayun dalam nominasi Warisan Dunia (UNESCO World Heritage List);
2. terlaksananya sayembara Penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia mencakup Sejarah Pemikiran, Sejarah Perilaku, dan Sejarah Benda-benda;
3. terlaksananya penulisan naskah “Sejarah Indonesia Jilid VIII” yang dilengkapi dengan berbagai temuan baru dalam bidang sejarah hasil penulisan tesis dan disertasi yang komprehensif;
4. terlaksananya penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia dan penulisan Sejarah Pemikiran untuk memperkaya pengetahuan kita tentang kebudayaan Indonesia, dan penyusunan Ensiklopedi Sejarah Perkembangan Iptek;
5. terlaksananya Lawatan Sejarah di Makassar dengan tema ”Pelayaran Makassar Selayar merajut simbol-simbol Maritim Perekat Bangsa” dan lawatan Sejarah Nasional IV di Bangka Belitung dengan tema “Pangkal Pinang Kota Pangkal Kemenangan dan lawatan sejarah tingkat nasional;
6. tersusunnya Pedoman Kajian Geografi Sejarah;
7. terselenggaranya Konferensi Nasional Sejarah VIII;
8. terlaksananya koordinasi penanganan perlindungan benda cagar budaya (BCB) dan Survei Arkeologi Bawah Air;
9. terlaksananya transkripsi, transliterasi, dan alih media naskah kuno;
10. terlaksananya Pameran Batik Inovatif;
11. terselenggaranya Sidang ke-40 ASEAN-Committee on Culture and Information (ASEAN-COCI) di Mataram;
12. terlaksananya pemberian bantuan kepada 21 museum daerah dan tersusunnya Pedoman Museum Situs sebagai landasan bagi pemda kabupaten/ kota dan masyarakat dalam mendirikan museum;
13. terlaksananya pemberian bantuan kepada Museum NTT berupa penataan dan pameran tetap beserta sarananya tentang manusia purba Flores (Homo Floresiensis);
14. terlaksananya pemberian bantuan advokasi terhadap penanggulangan kasus pelanggaran benda cagar budaya dan penanganan perlindungan benda cagar budaya bawah air;
15. tersusunnya Pedoman Kajian Geografi Sejarah dan Pedoman Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Sejarah;
16. tersusunnya konsep Museum Maritim dan pendirian Museum Sejarah Nasional serta pedoman Pengembangan Museum Situs Cagar Budaya;
17. terlaksananya konservasi dan rehabilitasi Istana Tua Sumbawa beserta kawasannya;
18. terlaksananya penggalian dan penelitian situs Trowulan yang dilanjutkan dengan kegiatan pameran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Situs Trowulan bekerja sama dengan Yayasan Kebudayaan Indonesia-Jepang (NIHINDO);
19. terlaksananya koordinasi dalam rangka ratifikasi UNESCO: Convention on The Protection of Underwater Cultural Heritage;
20. terlaksananya pembuatan Komik Purbakala dengan judul Petualangan Arki2: Arki dan Kemegahan Candi”;
21. terlaksananya sosialisasi/ kampanye peningkatan apresiasi masyarakat terhadap museum;
22. terlaksananya dialog interaktif kepurbakalaan di RRI Nasional Pro-3 Jakarta;
23. terlaksananya peningkatan kualitas SDM bidang peninggalan bawah air;
24. terlaksananya kajian pemekaran wilayah di Sulawesi dalam perspektif sejarah;
25. terlaksananya Trail of Civilization on Cultural Heritage Tourism Cooperation among Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Myanmar, Thailand, and Vietnam;
26. terlaksananya pengembangan Situs Sangiran yang meliputi zonasi kawasan Sangiran, tata ruang kawasan, keserasian tata ruang dan kelestarian ekologi, serta pengembangan pariwisata sejarah dan budaya (Cultural Heritage Tourism Management);
27. tersusunnya revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
28. terlaksananya pemberian bantuan advokasi terhadap penanggulangan kasus pelanggaran benda cagar budaya dan penanganan perlindungan benda cagar budaya bawah air;
29. kajianpemekaran wilayah di Sulawesi dalam Perspektif Sejarah;
30. terlaksananya penyusunan Pedoman Kajian Geografi Sejarah dan Pedoman Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Sejarah;
31. terlaksananya pemetaan Sejarah Kota Yogyakarta dan Klaten Pascagempa;
32. terlaksananya penyusunan Pedoman Pengembangan Museum Situs Cagar Budaya;
33. terlaksananya pemberian bantuan kepada 21 museum daerah; dan
34. terlaksananya pengembangan pariwisata sejarah dan budaya (culturalheritage tourism management).
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Tindak lanjut yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul karena interaksi budaya yang semakin terbuka antara tataran nilai lokal dan global adalah sebagai berikut:
1. penyelenggaraan berbagai dialog kebudayaan dan kebangsaan;
2. pengembangan pendidikan multikultural melalui pengembangan kesenian dan perfilman nasional;
3. pengembangan galeri nasional;
4. pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) bidang perfilman;
5. peningkatan sensor film untuk menjaga nilai-nilai adat, agama, kearifan lokal mewujudkan ikatan kebangsaan;
6. stimulasi perfilman melalui Lomba Film Kompetitif dan FestivalFilm Indonesia (FFI);
7. pemberian fasilitas penyelenggaraan festival budaya daerah;
8. pendukungan pengelolaan taman budaya daerah;
9. optimalisasi koordinasi pengembangan nilai budaya, seni dan film;
10. pelaksanaan revitalisasi nilai luhur, budi pekerti dan karakter bangsa;
11. pelestarian dan pengaktualisasian adat, tradisi dan nilai-nilai tradisi;
12. pelaksanaan kebijakan pengembangan nilai budaya di seluruh Indonesia;
13. pendukungan pengembangan nilai budaya daerah;
14. penyelenggaraan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada masyarakat;
15. pemanfaatan naskah kuno nusantara;
16. pengembangan nilai sejarah;
17. penyusunan buku sejarah dan geografi sejarah nasional;
18. pengelolaan peninggalan kepurbakalaan;
19. fasilitasi penyelamatan pusaka bawah air;
20. pengembangan/ pengelolaan permuseuman dan pendukungan pengelolaan museum daerah;
21. pengembangan pemahaman kekayaan budaya;
22. pendukungan pengembangan kekayaan budaya daerah;
23. pengembangan arkeologi nasional;
24. pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno;
25. perekaman dan digitalisasi bahan pustaka;
26. pengelolaan koleksi deposit nasional;dan
27. pengembangan statistik perpustakaan dan perbukuan.


Minggu, 03 April 2011

Tawuran Antarwarga

A. Pendahuluan

Tahun 2010 merupakan peringatan 102 tahun kebangkitan nasional dan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Jika merujuk pada usia yang sudah dijalani, seharusnya Indonesia kita sudah lama bangkit dan merdeka dari segala keterpurukan. Namun dalam kenyataannya apakah kebangkitan dan kemerdekaan tersebut sudah tercipta? Pertanyaan ini perlu diajukan dengan melihat kondisi negara kita sekarang ini yang tidak kunjung berubah ke arah yang lebih baik. Masih banyak persoalan besar yang dihadapi dan penyelesaian yang diupayakan tidak kunjung tuntas. Masalah keamanan, sosial, ekonomi, politik, dan hukum saling terkait satu sama lain. Korupsi sudah sedemikian parah dengan berbagai penyimpangan yang tidak saja dilakukan oleh aparat birokrasi, tetapi juga wakil rakyat. Penegakan hukum masih sebatas harapan, kualitas kesehatan masyarakat masih memprihatinkan, dan kemiskinan masih ada dimana-mana. Itulah potret Indonesia kita sekarang ini.

Persoalan besar lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah pertikaian
antarkelompok yang intensitasnya cenderung meningkat belakangan ini. Ketika konflik
yang banyak disebut orang sebagai konflik antaretnis dan antaragama (Sambas, Sampit, Sanggauledo, dan Poso) sudah mereda (mudah-mudahan sudah selesai dan bukan latent conflict), sekarang ini muncul benih-benih permusuhan antarkelompok yang baru. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang dimaksudkan sebagai sarana memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung ternyata tidak lepas dari pertikaian. Ketidakpuasan satu kelompok terhadap kelompok yang lain diekspresikan dalam bentuk penggalangan massa secara kolosal 2 (mobokrasi) untuk pamer kekuatan dan tidak jarang melakukan tindakan anarkis, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Tuban dan Mojokerto, Provinsi Jawa Timur beberapa waktu yang lalu. Lebih dari itu, ketidaksenangan antarkelompok juga dilakukan oleh mahasiswa yang konon merupakan generasi penerus negeri ini. Mereka melakukan tawuran missal untuk mengekspresikan kebencian satu sama lain, seperti yang terjadi di Jakarta dan Makassar. Tawuran massal antarkelompok mahasiswa sudah berulangkali terjadi. Negeri yang sudah merdeka lebih dari setengah abad ini juga masih dihadapkan dengan “perang tradisional” antarkelompok (suku) seperti yang terjadi di Provinsi Papua. Apabila kasus kasus pertikaian tersebut tidak disikapi dengan bijak oleh semua pihak, bukan tidak mungkin konflik tersebut akan bisa menjadi pemantik terjadinya pertikaian antarkelompok yang lebih besar. Pelajaran apa yang bisa peroleh dari permusuhan antarkelompok tersebut? Sifat dari konflik tersebu sudah mengarah pada upaya untuk “menghilangkan” satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Sungguh suatu hal yang ironis, ketika kita dalam banyak kesempatan sering membanggakan diri sebagai bangsa yang santun, ramah, dan beradab. Namun dalam kenyataannya, kita justru melakukan tindakan yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.

B. Pembahasan.

Diskusi ini tentang sifat pluralitas masyarakat Indonesiadengan mengutip pernyataan Elie Wiesel, seorang penerima penghargaan Nobel Perdamaian dalam buku yang ditulis oleh William B. Gudykunst dan Young Yun Kim: Communicating With Strangers, An Approach to Intercultural Communication (1997:277). Wiesel mengatakan bahwa kebencian yang ditujukan kepada kelompok politik dan ideology yang berbeda merupakan persoalan utama yang kita hadapi (hingga sekarang ini – catatan penulis). Kebencian dan konflik telah dan tengah terjadi di berbagai belahan dunia tempat kita hidup. Konflik kebangsaan yang terjadi di bekas negara Uni Soviet antara Azerbaijan dengan Armenia; konflik etnis yang terjadi antara warga Serbia, Kroasia dengan Muslim di bekas negara Yugoslavia; konflik antara pengikut neo-Nazi dengan para imigran di Jerman yang mengarah pada tindak kekerasan; konflik antara kelompok Protestan dengan 3 Katholik yang masih berlangsung hingga sekarang di Irlandia Utara serta konflik antara Palestina dengan Israel yang belum berhenti, merupakan realitas yang diungkapkan oleh Wiesel untuk menyebut beberapa konflik antarkelompok yang terjadi hingga saat ini.Belakangan kita juga mengetahui lewat pemberitaan media massa mengenai perang antara Hizbullah dengan Israel di Libanon. Banyak korban manusia yang meninggal dalam perang ini, khususnya anak-anak yang sebenarnya tidak memahami makna dari konflik yang terjadi. Kebencian antarkelompok juga diekspresikan lewat teror bom, seperti yang terjadi di Afghanistan, India, dan Irak, bahkan di negara kita sendiri yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan orang lainnya yang sama sekali tidak terkait dengan persoalan politik dan ideologi dari pihak-pihak yang bertikai. Peristiwa aktual tentang pertikaian antaretnis terjadi di Kirgistan, sebuah negara miskin pecahan Uni Soviet di Asia Tengah.

Di Indonesia, dalam catatan saya, konflik antarkelompok yang menjadikan perbedaan latar belakang budaya sebagai “alat pemantik” sudah lama berlangsung dan beberapa diantara konflik itu dilakukan lewat penyerangan fisik yang sudah mengarah pada tataran prasangka yang paling tinggi, yaitu eksterminasi (extermination). Secara konseptual, tindakan eksterminasi diekspresikan dalam wujud pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide atau ethnic cleansing). Tentu masih segar dalam ingatan kita “Peristiwa Sanggau Ledo, Sambas dan Sampit” (konflik antara etnis Dayak/Melayu dengan Madura), “Peristiwa Ambon dan Poso” (konflik antaragama) dan “Peristiwa Mei 1998” (konflik politik yang berimbas pada kebencian terhadap warga Tionghoa). Pelajaran yang bisa kita peroleh dari pertikaian antarkelompok tersebut adalah bahwa sifat dan kedalaman konflik yang terjadi sudah mengarah pada upaya untuk menghilangkan satu kelompok kultural oleh kelompok kultural yang lain. Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai sudah tidak lagi memberi penghargaan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ironis, ketika kita dalam banyak kesempatan sering membanggakan diri sebagai bangsa yang santun, ramah dan beradab, namun dalam realitasnya kita justru melakukan tindakan yang menafikan dan jauh dari nilai-nilai tersebut. Konflik antarkelompok yang terjadi di Indonesia, dalam catatan sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo (2004:8) merupakan satu dari banyak persoalan yang dihadapi oleh negara kita. Masalah keamanan, sosial, ekonomi, politik dan moral 4 saling terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk mengurai dan mengatasi beragam masalah tersebut. Akibat dari situasi ini, pemerintah seperti tidak memiliki cukup kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada warganya, sedangkan masyarakat sendiri telah kehilangan kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Dalam terminologi ilmu sosial, bila berbagai persoalan yang dihadapi tidak segera diatasi, maka suatu negara akan memasuki situasi yang disebut dengan “darurat kompleks” (complex emergency). Dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki situasi “darurat kompleks” ini, karena persoalan-persoalan yang dihadapi sudah sedemikian perlu mendapat penanganan yang sungguh-sungguh.

Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud
dari bangsa yang majemuk. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya
keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, sukubangsa (etnis) dan
keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya. Pada satu sisi,
kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain keragaman kultural memiliki potensi bagi terjadinya disintegrasi atau
perpecahan bangsa. Pluralitas budaya ini seringkali dijadikan alat untuk memicu
munculnya konflik suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA), meskipun
sebenarnya faktor-faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan politik, ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Uni Soviet dan Yugoslavia bias menjadi cermin untuk memahami kegagalan suatu negara dalam mengelola perbedaan kultural. Secara konseptual, potensi konflik yang besar dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini disebabkan oleh terbelahnya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural mereka. Ting-Toomey (1999:30) menjelaskan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari individu-individu untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbelah ke dalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural, yaitu menegaskan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultural ini (Rogers & Steinfatt, 1999:97) pada gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup atau outgroup. Bagaimana setiap individu berperilaku, sebagian ditentukan oleh apakah mereka termasuk ke dalam kelompok budaya tertentu atau tidak.

Dalam sosiologi dikenal istilah crosscutting cleavage, yaitu masyarakat yang terkonsentrasi secara eksklusif 5 berdasarkan identitas kulturalnya. Crosscutting cleavage ini memudahkan terjadinya penggalangan massa ketika terjadi konflik yang melibatkan anggota-anggota dari kelompok kultural yang berbeda. Di negeri ini, kita banyak menemukan permukiman warga berdasarkan identitas kelompok kulturalnya masing-masing, misalnya Pecinan, Kampung Arab, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan lain-lain. Pada satu sisi, permukiman yang terpusat secara kultural ini akan menciptakan rasa aman sekaligus nyaman bagi para penghuninya, namun pada sisi yang lain, lingkungan permukiman tersebut akan menjadi kontra produktif ketika dihadapkan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk.
Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan
identitas kultural atau masyarakat yang terpilah dalam dikotomi ingroup dan outgroup
secara kultural, akan relatif sulit dicapai keterpaduan sosial (social cohesion). Sebab,
masing-masing kelompok berada pada wilayah pergaulan yang eksklusif, sehingga relative tidak intensif dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu komunikasi yang dimaksudkan untuk mengurangi kesalahpahaman budaya (cultural misunderstanding), tetapi justru cenderung melakukan penghindaran komunikasi (communication avoidance). Keterpaduan sosial yang dimaksud adalah suatu kondisi yang memungkinkan masingmasing kelompok dapat menjalin komunikasi tanpa harus kehilangan identitas cultural mereka. Akibat yang akan muncul dari tidak adanya keterpaduan sosial adalah bahwa usaha untuk membentuk kehendak bersama (common will) sebagai suatu bangsa menjadi persoalan yang rumit dan membutuhkan waktu yang relatif panjang.

Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1954 mengingatkan pentingnya memahami kemajemukan budaya
yang menjadi ciri bangsa Indonesia. “Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis dilambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda …” (dikutip dari Kompas, 4 Maret 2001, hal. 31). Pernyataan-pernyataan di atas memberikan suatu gambaran bahwa usaha untuk membangun sebuah bangsa yang majemuk, yaitu kondisi masyarakat yang member apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, ras dan etnis (Speight dalam Deetz, 1993:433) atau pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam 6 lingkungan yang sama dan memberi manfaat satu sama lain (Rogers & Steinfatt, 1999:238) masih dalam tahapan mencari bentuk. Multikulturalisme, menurut Shuter (dalam Deetz, 1993:433) mempersyaratkan pemeliharaan (preservation) yang tidak dapat dirubah dari setiap budaya, yaitu nilai-nilainya, pandangan-pandangannya (worldviews) dan polapola komunikasinya. Potensi konflik sebagai konsekuensi dari sifat kemajemukan yang menjadi cirri masyarakat Indonesia telah mewujud dalam berbagai bentuk pertikaian SARA, terutama konflik antaretnis yang telah terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, mulai dari Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Meskipun telah dinyatakan secara tegas oleh aparat pemerintah sebagai bukan konflik antaretnis, namun pertikaian antara 2 (dua) kelompok warga (Betawi dan Madura) di Cengkareng Jakarta beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh kecelakaan lalu lintas (serempetan mobil), sebenarnya perwujudan nyata dari pertikaian antaretnis.

Pertikaian SARA yang terjadi di hampir sepanjang jalur negeri ini sebenarnya ingin menegaskan kembali bahwa sifat kemajemukan yang dimiliki masyarakat Indonesia merupakan persoalan yang perlu dikelola dengan serius. Dalam arti, perlu ada penanganan yang sifatnya mendasar, karena pertikaian terbuka (manifest) maupun konflik yang tersembunyi (latent) terjadi silih berganti. Penanganan terhadap konflik SARA yang dilakukan pemerintah selama ini masih sebatas mengurangi ketegangan dengan bertindak sebagai fasilititator atau penengah, misalnya mencari solusi damai dengan mengundang dan mempertemukan pemimpin-pemimpin kelompok yang bertikai. Cara penyelesaian seperti ini tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dari kelompok-kelompok yang bertikai, karena alternatif penyelesaian yang ditawarkan cenderung bersifat formalitas, tanpa melewati sebuah proses dialog yang matang. Perjanjian Malino yang diprakarsai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla pada saat itu menjadi contoh tentang solusi konflik yang cenderung formal.

Temuan-temuan studi yang berkaitan dengan cara dan kinerja pemerintah dalam
menangani konflik SARA selama ini, mengindikasikan bahwa ada tantangan besar yang
harus dihadapi oleh pemerintah, yaitu bagaimana mengupayakan cara pemecahan terbaik untuk menyelesaikan konflik SARA yang sudah mengakar. Dalam wujud yang lebih konkrit, kebijakan atau langkah-langkah strategis apa yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam mengelola masyarakat Indonesia yang majemuk yang memungkinkan setiap orang 7 dari kelompok kultural yang beragam dapat meminimalkan kesalahpahaman yang selama ini terjadi. Data hasil jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Kompas (14 Agustus 2006) menunjukkan bahwa sepertiga (31,5%) dari sebanyak 984 responden di beberapa kota besar di Indonesia tidak memiliki kebanggaan terhadap pemerintah, bahkan hamper separuh dari mereka (44,2%) tidak merasa bangga dengan kinerja lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD). Dalam hal toleransi terhadap perbedaan etnis, 32,1% responden berpendapat bahwa toleransi tersebut cenderung melemah, demikian halnya dengan 27,7% responden yang menilai rendahnya tenggang rasa terhadap perbedaan agama. Temuan studi ini pada akhirnya memberikan peringatan kepada kita semua bahwa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia sekarang ini justru sedang mengalami penurunan. Salah satu potensi (negatif) dari karakteristik masyarakat yang majemuk, seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah konflik. Pertikaian SARA di Indonesia yang sifatnya sudah mengakar memberikan indikasi bahwa pemahaman masyarakat tentang pluralitas atau kemajemukan budaya masih sangat terbatas. Masyarakat hampir tidak pernah mendapatkan pengetahuan yang bisa memberikan pencerahan kepada mereka tentang makna pluralitas kultural. Di masa lalu, masyarakat ditabukan untuk membicarakan secara terbuka persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan SARA. Menurut sosiolog UGM, Heru Nugroho (2000:145), SARA selalu dijadikan “kambing hitam” sebagai penyebab munculnya permasalahan sosial di tengah masyarakat. Ironisnya, popularitas SARA sebagai sumber gejolak sosial tidak pernah menjadi wacana untuk diperdebatkan secara terbuka apalagi tuntas di tingkatan publik. Justru sebaliknya, perdebatan yang mengarah pada topik SARA terus dibatasi. Sebagai sebuah wacana, SARA telah menempati wilayah yang sangat elitis, SARA hanya mampu ditembus atau dimanipulasi oleh para elite penguasa. Akibat dari pelarangan membicarakan SARA sebagai wacana yang terbuka adalah munculnya distorsi pengetahuan. Persoalan SARA tidak pernah dipahami sebagai kenyataan ontologis yang harus dikaji secara rasional, tetapi SARA lebih dilihat sebagai permasalahan yang tidak pernah terjadi secara nyata. Ringkasnya, SARA seharusnya
perlu dipahami sebagai wilayah pertikaian yang tanpa henti, baik konflik yang tersembunyi maupun konflik yang terbuka. Konflik SARA yang terjadi di Ambon, Poso, Sanggau Ledo, Sambas, Sampit atau pun berbagai peristiwa kerusuhan sosial yang melibatkan warga Tionghoa sebagai korban 8 menjadi pertanda keterbatasan masyarakat Indonesia dalam memahami makna dari kemajemukan budaya. Identitas kultural dipahami secara sempit dalam wujud kebanggaan etnis atau fanatisme agama oleh masing-masing kelompok. Pemahaman yang relative terbatas tentang pluralitas kultural ini bisa terjadi karena orang secara individual maupun kelompok sering dengan sangat mudah mengekspresikan kendala-kendala dalam komunikasi antarbudaya (intercultural inhibitors), yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka ketika orang tersebut terlibat dalam suatu pertikaian dengan orang lain, meskipun faktor-faktor penyebab dari konflik tersebut sebenarnya tidak mempunyai kaitan langsung dengan perbedaan-perbedaan latar belakang kultural.

Menurut antropolog UI, Parsudi Suparlan (dalam I. Wibowo (ed.), 1999:165), sentimen etnis dapat diaktifkan untuk menciptakan solidaritas sosial ketika menghadapi warga dari etnis lain pada saat terjadinya persaingan. Biasanya persaingan tersebut untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan pengalokasian pendistribusiannya, atau untuk mempertahankan dan memperjuangkan kehormatan etnisnya yang dianggap telah dirusak oleh pihak lawan. Sedangkan antropolog Kathryn Robinson (2000) mengungkapkan, “Kita harus mengerti kekerasan atau teror supaya kita bisa memahami pikiran orang lain, yaitu mengapa mereka benci kepada kita? ….. Karena mereka tidak mengerti”. Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, pernyataan tersebut memberi makna bahwa sebagai bagian dari masyarakat multikultur, kita selama ini tidak atau belum pernah melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif, sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan untuk meminimalkan kesalahpahaman budaya. Interaksi dalam konteks individual maupun kelompok selama ini tidak lebih dari komunikasi yang semu, tidak sungguh-sungguh, sebuah perilaku komunikasi yang dalam cara berpikir jurnalis senior Jakob Oetama (2000) cenderung tidak mencerminkan adanya ketulusan dari kedua belah pihak, yaitu tidak mengatakan apa yang sebenarnya, apa yang hidup dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian, komunikasi hanya sekadar untuk berbasa-basi. Komunikasi tidak menyampaikan pesan yang sebenarnya.
Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin interaksi
dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang
sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal, kategori-kategori yang
bersifat rutin dan cara-cara melakukan sesuatu yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1999:46). Artinya, ketika seseorang melakukan kontak antarbudaya dengan “liyan” (stranger), maka 9 individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktivitas komunikasinya seperti automatic pilot yang tidak dilandasi dengan kesadaran dalam berpikir (conscious thinking). Orang tersebut lebih bersikap reaktif daripada proaktif.

Konsep lain yang memiliki keterkaitan dengan mindlessness adalah apa yang
dikenal dengan emotional vulnerability. Ting-Toomey (1999:vii) mengatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan mengalami emotional vulnerability. Dalam arti, identitas kelompok (seperti misalnya identitas kultural) danidentitas individu (seperti misalnya sifat-sifat kepribadian) akan mempengaruhi cara cara seseorang dalam mempersepsikan, berpikir dan berperilaku. Perilaku komunikasi yang mindless disebabkan oleh ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) yang dialami oleh seseorang. Secara konseptual, ketidakpastian dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memprediksikan atau menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini orang lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, khawatir atau cemas tentang sesuatu yang akan terjadi. Ketidakpastian merupakan pikiran (thought) dan kecemasan merupakan perasaan (feeling). Ketidakpastian dan kecemasan merupakan faktor-faktor penyebab dari kegagalan komunikasi dalam situasi antarkultural (Griffin, 2000:396-397; Dodd, 1998:9; Gudykunst & Kim, 1997:14).
Ketidakpastian dan kecemasan yang relatif tinggi dari masing-masing individu
ketika berusaha melakukan komunikasi antarbudaya pada gilirannya akan menyebabkan munculnya tindakan atau perilaku yang tidak fungsional. Ekspresi dari perilaku yang tidak fungsional tersebut antara lain tidak memiliki kepedulian terhadap eksistensi orang lain, ketidaktulusan dalam berkomunikasi dengan orang lain, melakukan penghindaran komunikasi dan cenderung menciptakan permusuhan dengan orang lain (Dodd, 1998:9).




Sumber : http://www.bestpdfsearch.com/