Bila dirunut ke belakang, ternyata bukan kali ini saja pabrik tekstil dan printing PT Dupantex yang berlokasi di Jalan Raya Tirto, Pekalongan, tersandung kasus pencemaran lingkungan. Pada tahun 1999 lalu, pencemaran lingkungan akibat limbah pabrik juga pernah terjadi.
Bedanya, ketika itu ’perlawanan’ dilakukan masyarakat tanpa ada pendampingan. Namun kini Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) turun tangan langsung menggugat PT Dupantex. Hanya saja permasalahan pokoknya masih sama, warga merasa dirugikan karena terjadi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan warga sekitar pabrik menderita penyakit dan lahan pertanian yang terkena limbah rusak. Sumur warga tidak bisa dipergunakan karena terkena rembesan limbah. Akibatnya, warga terserang penyakit gatal-gatal serta sesak napas.
PT Dupantex yang didirikan sekitar tahun 1988 merupakan pabrik tekstil dan printing yang cukup besar di kawasan Kabupaten Pekalongan. Bahkan Menteri Perindustrian (saat itu) Ir Hartarto meresmikan pembangunan pabrik, yang juga dihadiri pejabat pusat maupun provinsi. Ini semua mengingat kapasitas produksi yang dihasilkan tidak hanya melayani konsumen lokal, tetapi juga diekspor.
Ketika gencarnya kasus pencemaran era tahun 90-an, muncul kebijakan agar pabrik dilengkapi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Saat itu PT Dupantex sama sekali belum memiliki IPAL.
Tak pelak, isu lingkungan hidup dan pencemaran yang saat itu marak membuat warga Desa Tegaldowo dan Karangjompo, lokasi pabrik berada, "memberontak" meminta agar limbah tidak dibuang secara serampangan. Bahkan saat itu warga sempat menutup jalur pembuangan limbah pabrik milik Lioe Tiong Peng ini.
Kasus pencemaran ini menjadi perhatian serius. Hampir semua aparat pemerintah turun ke lapangan termasuk dari Mabes Polri. Mengantisipasi kerawanan massa dan pengerahan buruh yang saat itu melakukan aksi demonstrasi di Pendopo Kabupaten Pekalongan di Alun-alun lama. Ketika itu Pekalongan masuk kategori "sumbu pendek " karena mudah terjadi kerusuhan.
Kesepakatan akhirnya ditempuh pihak PT Dupantex secara berangsur dengan membuat IPAL yang menelan biaya cukup besar. Konon, untuk mengoperasikan instalasi itu tidak kurang menelan Rp 50 juta per bulan. Sedangkan warga dibuatkan sumur air bersih serta pengaspalan jalan kampung sekaligus dibuat saluran pembuangan limbah sepanjang 700 meter ke Sungai Meduri.
Menurut seorang warga, Ny Bawon, sampai sekarang sumur mereka tidak bisa dipergunakan lagi. Kalau tetap nekad menggunakan, mereka terserang gatalgatal.
Sedangkan asap pabrik yang dibuang ke arah mereka, membuat warga terkena penyakit infeksi saluran pernapasan. Sejak tahun 1999 sampai kini Sungai Meduri berubah warna dan berbau, airnya tidak bisa dipergunakan lagi.
Wawasan bersama Kades Tegaldowo, Subarjo dan petugas KNLH melihat langsung limbah berwarna coklat kehitaman dan agak panas mengeluarkan asap mengalir begitu saja ke saluran sepanjang 700 meter yang bermuara ke Sungai Meduri.
Menurut Kades Tegaldowo, Subardjo, sekitar 100 sumur di Tegaldowo tercemar limbah tekstil, dan tidak bisa dipergunakan lagi. Meski telah ada prasarana pembuangan limbah, pihak pabrik maupun home industry yang ada masih nekad membuang limbahnya ke sungai, yang dilakukan "kucing- kucingan" pada malam hari.
Sementara itu kuasa hukum PT Dupantex, Djarot Widjayanto menuturkan, tudingan terhadap kliennya telah melakukan pencemaran tidak benar sama sekali. Menurutnya, limbah tidak langsung dibuang ke saluran pembuangan namun telah melalui proses pengelolaan limbah. Yakni terlebih dahulu melalui ekualisasi kemudian pengobatan limbah dan juga filterisasi. Kemudian limbah itu diendapkan. Setelah mengalami proses kimia maupun fisika, limbah selanjutnya ditampung di bak klarifien. Setelah dilakukan pengendapan biologi, diteruskan proses pemisahan antara air limbah dengan sludge (endapan). Barulah setelah limbah dipisahkan dari sludge dibuang ke sungai melalui gorong-gorong sepanjang 700 meter. K.28-pu
Sumber : http://www.wawasandigital.com/
1 komentar:
huhuhuu
Posting Komentar